(Sama : Nasib Anak Cucu jadi Taruhan)
Ketika saya masih duduk di SD tahun 70-an, di kampung pernah mendengarkan sebuah cerita sandiwara radio, dalam bentuk “Kesenian Ludruk” yang disponsori oleh salah satu pabrik jamu terkenal. Salah satu cerita yang masih saya ingat sampai sekarang adalah cerita berjudul “Mati Sekarat”.
Alkisah ada sepasang suami istri yang mempunyai 3 (tiga) orang anak yang masih kecil. Hidup serba kekurangan. Tiap hari pekerjaannya hanya mengeluh dan berandai-andai. Pengin hidup layak dan berkecukupan, tapi tidak diimbangi dengan usaha yang memadai.
Suatu saat, suami istri ini mendengar info dari kenalan tetangga desanya, bahwa kalau pengin kayaraya, hidup serba kecukupan, tidak perlu bekerja keras, ada caranya. Mereka disarankan untuk mencari “Ilmu Pesugihan”. Yaitu, ilmu atau sarana untuk mendapatkan kekayaan tanpa harus bersusah payah membanting tulang. Suami istri tersebut tertarik dan akhirnya sepakat untuk menempuh cara itu.
Singkat cerita, didatangilah tempat keramat yang dijaga oleh seorang Dukun. Dikemukakan maksud dan tujuannya datang ketempat itu. Sang Dukun paham dan berjanji akan mengabulkan permintaannya. Tetapi Sang Dukun minta syarat. Yaitu, setiap tahun sepasang suami istri tersebut harus merelakan nyawa anaknya untuk menjadi “tumbal” atau tebusan atas kekayaan yang akan mereka nikmati. Suami istri tersebut pada akhirnya setuju alias deal dengan persyaratan yang diminta Sang Dukun, meskipun syarat yang diminta cukup berat .
Beberapa waktu kemudian terbukti. Apa yang diharapkan sepasang suami istri tersebut menjadi kenyataan. Kekayaan mereka terus bertambah dan kian bertumpuk meski jerih payah yang mereka lakukan ala kadarnya tidak sebesar kekayaan yang dia dapatkan.
Sesuai dengan jadwal yang telah disepakati, tiba saatnya Sang Dukun menagih janjinya. Suami istri tersebut tidak bisa mengelak dan harus menyerahkan nyawa anaknya. Dan tanpa sebab yang pasti, salah satu anaknya tiba-tiba meninggal. Kata Sang Dukun anaknya meninggal sebagai tumbal sesuai kesepakatan. Demikian pula pada tahun-tahun berikutnya, secara bergiliran mereka harus merelakan nyawa anak-anaknya sebagai tebusan atas kekayaan yang telah dia nikmati.
Ketika sang anak semuanya sudah habis, ternyata Sang Dukun tetap menuntut imbalan, maka dikorbankanlah saudara-saudaranya, sampai pada akhirnya pula, suami istri itu sendiri yang menjadi tumbal atas cara yang telah mereka sendiri lakukan.
******
Di era tahun 70an, cerita-cerita berbau mistik seperti cerita di atas, banyak orang yang percaya. Terutama di masyarakat perdesaan. Tetapi sesuai perkembangan jaman, 40 tahun kemudian, cerita semacam itu sudah jarang terdengar dan diyakini lagi.
Tetapi bila kita cermati, sebenarnya fenomena “ilmu pesugihan” di atas, saat ini malah sudah menjadi budaya. Meski dalam bentuk dan praktek yang berbeda. Yaitu, mendapatkan kenikmatan sebanyak-banyaknya saat ini, tanpa memikirkan nasib anak cucu di masa mendatang. Atau dengan kata lain Kesejahteraan Anak Cucu mendatang sudah kita advance saat ini.
Liputan Koran Tempo, Senin 6 Desember 2010 tentang Ekonomi Biaya Tinggi – Salam Tempel Sepanjang Jalan, adalah contoh kasus yang sudah membudaya sejak lama dan “Sekarang Makin Parah” kata salah seorang sopir.
Barangkali para oknum tersebut tidak menyadari atau memang sudah masa bodo. Mereka hanya perfikir bagaimana menangguk kenikmatan sebanyak-banyaknya saat ini, tanpa berfikir efek jangka panjangnya. Kasus pungutan liar/ salam tempel di sepanjang jalan, adalah merupakan salah satu contoh pemicu ekonomi biaya tinggi. Sehingga produsen menjadi kesulitan menetapkan harga yang dapat bersaing.
Contoh lain, masalah perijinan, masyarakat umum dan kalangan dunia usaha masih sering mengeluhkan proses pelayanan perijinan yang berbelit belit, tidak transparan, waktu yang tidak jelas dan biasanya perlu biaya ekstra. Mereka sering bolak balik dari satu kantor ke kantor yang lain hanya untuk mengurus satu layanan perijinan. Tentu saja hal ini membuat masyarakat atau kalangan dunia usaha menjadi seperti dipermainkan.
Meskipun saat ini sudah banyak dibentuk lembaga yang menangani perijinan, misalnya kantor pelayanan satu atap, unit pelayanan satu pintu, atau apalah namanya, memang dirasa sudah ada kemajuan, tetapi anekdot yang ada di masyarakat tentang aparat, bahwa “Selagi bisa dipersulit, kenapa mesti dipermudah” masih melekat di benak masyarakat. Hal ini karena di lapangan pada praktiknya belum banyak berubah. Terbukti dengan masih banyaknya proses pengurusan perijinan yang bisa lebih cepat apabila mau menambahkan sejumlah biaya. Artinya, masalah perijinan saat ini juga masih menjadi budaya atau faktor penyebab ekonomi biaya tinggi.
Untuk melihat salah satu dampak dari ekonomi biaya tinggi, gampang saja, di Jakarta atau di kota besar lainnya, coba kita tengok “pasar jumat”, yaitu pasar yang muncul di sekitar tempat kita sholat Jum’at. Terutama di masjid-masjid besar. Disitu akan kita jumpai barang-barang dagangan, alat-alat keperluan rumah tangga sehari-hari, mulai dari : tang, obeng, kakatua, gergaji, kacamata, jam tangan, jarum, peniti, mainan anak-anak dan sebagainya. Komplit. Tetapi coba kita cermati, barang-barang tersebut produk darimana. Barangkali lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) barang yang dijual adalah produksi dari luar, dan harganya relatif murah.
Pertanyaannya adalah, apakah pabrik kita tidak mampu membuat produk-produk serupa, sehingga dipasaran kita dibanjiri oleh produk dari luar ? Bisa jadi sebagian besar jawabannya adalah : untuk membuat produk serupa kita yakin mampu. Tetapi yang kita tidak yakin adalah apakah produsen kita dapat menjual dengan harga yang bisa bersaing dengan barang-barang serupa produk dari luar. Salah satu penyebabnya adalah biaya-biaya yang tidak jelas yang harus ditanggung oleh para produsen.
Dalam waktu dekat perdagangan bebas segera diberlakukan. Apakah kita sudah siap?. Atau lambat laun kita hanya akan menjadi penoton ? Karena barang-barang buatan sendiri tidak mampu bersaing dengan produk dari luar. Jika kekhawatiran itu benar dan kita hanya akan menjadi penonton, maka diprediksi, dalam waktu yang tidak lama, pabrik-pabrik kita akan berangsur tutup. Perusahaan akan gulung tikar, karyawan banyak yang PHK, dan anak cucu pada gilirannya bakal menjadi korban. Persis seperti cerita “Ilmu Pesugihan” di awal tulisan ini.
Apakah kita sudah terlambat untuk berbenah ? Pepatah mengatakan “lebih baik terlambat daripada tidak samasekali”. Mudah-mudahan tulisan singkat ini bisa menjadi renungan bersama menjelang perdagangan bebas yang akan diberlakukan tidak lama lagi.****
Pujo Sriyono E35
Mhs MM-IPB Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar